Ombudsman Soroti Beban Kerja Berat Sebabkan Penundaan Kasus di Polisi

EPICTOTO — Tingginya angka penundaan penyelesaian perkara di tingkat kepolisian kembali mendapat sorotan. Anggota Ombudsman RI, Johanes Widijantoro, mengungkapkan bahwa masalah ini bersumber dari faktor internal Polri, terutama beban kerja yang berlebihan dan struktur organisasi yang dinilai terlalu gemuk.

Dalam sebuah diskusi bertajuk “Reformasi Polri dan Pelayanan Publik Bagi Masyarakat” di Jakarta, Jumat (5/12/2025), Johanes menyatakan bahwa banyaknya tugas dan tumpang tindih fungsi dalam institusi Polri kerap membuat kinerja mereka tidak optimal.

“Seringkali beban kerja yang overload menyebabkan proses tidak berjalan profesional. Tanggung jawabnya sangat luas, baik di ranah internal maupun eksternal,” jelas Johanes.

Dominasi Laporan Terkait Proses Hukum

Data Ombudsman menunjukkan bahwa mayoritas pengaduan masyarakat berkaitan dengan tahapan hukum di kepolisian. Beberapa masalah yang sering muncul antara lain penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang dianggap tidak prosedural, ketiadaan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) untuk pelapor, serta prosedur penetapan tersangka, penggeledahan, penahanan, dan penyitaan yang dinilai tidak sesuai aturan.

“Padahal, regulasi untuk semua tahapan ini sudah jelas. Masalahnya terletak pada implementasi di lapangan,” tambahnya.

Struktur Organisasi dan Masalah Administratif

Johanes juga menyoroti pengaruh struktur Polri yang besar terhadap efisiensi administrasi. Salah satu contoh konkret adalah sering terjadinya mutasi atau kepindahan penyidik tanpa proses serah terima berkas yang baik, yang berujung pada terhambatnya kelanjutan penyelidikan.

“Bayangkan betapa besarnya tubuh organisasi kepolisian ini. Hal ini tentu menyulitkan upaya menjaga profesionalitas dan koordinasi,” ujarnya.

Tantangan Digitalisasi dan Harapan Reformasi

Di era digital, masalah lain juga muncul. Meski laporan sudah dapat dibuat secara daring, banyak aduan yang tidak ditindaklanjuti dengan cepat, menunjukkan adanya kesenjangan antara sistem dan eksekusi.

Oleh karena itu, Ombudsman mendorong agar agenda reformasi Polri tidak hanya bersifat kosmetik, tetapi menyentuh akar permasalahan. Reformasi harus diarahkan untuk memperbaiki struktur, memperjelas pembagian fungsi, dan yang terpenting, membangun budaya profesionalisme di setiap tingkat.

“Masyarakat mengharapkan pelayanan hukum yang adil, transparan, dan profesional. Momentum reformasi ini harus dimanfaatkan untuk merombak hal-hal mendasar tersebut,” pungkas Johanes.

Dengan demikian, upaya mempercepat penyelesaian kasus dan meningkatkan kualitas layanan kepolisian memerlukan penataan ulang beban kerja dan penyederhanaan birokrasi internal yang signifikan.