Lumajang, Jawa Timur – Sebuah tragedi berdarah kembali mengguncang pttogel ketenangan warga sebuah desa di Kabupaten Lumajang. Peristiwa ini menjadi buah bibir karena melibatkan dendam lama yang berujung pada aksi balas nyawa. Seorang pria muda akhirnya menuntaskan kemarahan dan luka batin setelah bertahun-tahun menyimpan dendam kepada tetangganya sendiri—orang yang diduga kuat menjadi pembunuh ayahnya di masa lalu.
Awal Mula Dendam: Luka yang Tak Pernah Sembuh
Menurut penuturan beberapa warga sekitar, peristiwa kelam itu berawal hampir sepuluh tahun silam. Ayah dari pelaku, sebut saja S (nama disamarkan untuk kepentingan hukum), ditemukan tewas dengan luka bacokan di kebun miliknya. Saat itu, penyelidikan sempat mengarah kepada seorang tetangga dekat, R (nama samaran), namun bukti yang dikumpulkan aparat kala itu tidak cukup untuk menjeratnya ke meja hijau.
Sejak kejadian tersebut, keluarga S hidup dalam bayang-bayang kehilangan dan rasa tidak adil. Ibunda S dikabarkan jatuh sakit akibat depresi, sementara S yang masih remaja saat itu tumbuh dengan kemarahan yang tak kunjung reda. “Dari kecil dia sudah menunjukkan perubahan. Jadi pendiam dan gampang marah kalau dengar nama R,” tutur seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
baca juga: viral-gadai-syarat-disetubuhi-di-semarang-kronologi-fakta-dan-analisis-sosial
Bertahun-Tahun Memendam Amarah
Seiring berjalannya waktu, S tumbuh menjadi pemuda dewasa. Namun luka batin akibat kehilangan ayah secara tragis membuatnya menyimpan bara dendam. Di mata tetangga, S dikenal rajin bekerja dan jarang terlibat masalah, namun orang terdekatnya mengetahui bahwa di balik sikap tenang itu, ada kemarahan yang tak pernah padam.
Menurut keterangan kerabat, S beberapa kali mengutarakan keinginan untuk menuntut keadilan dengan caranya sendiri. Ia merasa hukum tidak berpihak pada keluarganya. “Dia sering bilang kalau hukum gagal menegakkan kebenaran, dia yang akan menegakkannya,” ungkap salah satu saudara jauh.
Malam Berdarah: Aksi Balas Dendam
Puncak dari dendam itu terjadi pada suatu malam di awal September 2025. Berdasarkan hasil olah TKP kepolisian, S mendatangi rumah R saat suasana desa sudah sepi. Berbekal sebilah senjata tajam, S menunggu hingga R keluar rumah untuk mengambil air di sumur belakang. Tanpa banyak kata, S langsung menyerang korban dengan beberapa kali sabetan senjata tajam.
Warga yang mendengar teriakan segera berlarian ke arah suara, namun korban sudah tergeletak bersimbah darah. Nyawanya tak tertolong sebelum sempat dibawa ke puskesmas terdekat. S, yang tidak berusaha kabur, justru menunggu aparat desa datang dan dengan tenang menyerahkan diri.
Polisi Turun Tangan: Penangkapan Tanpa Perlawanan
Kapolres Lumajang menyampaikan bahwa S kini ditahan untuk pemeriksaan lebih lanjut. Dalam interogasi awal, S mengakui perbuatannya dan menyatakan bahwa aksinya merupakan “pembalasan” atas kematian ayahnya. “Pelaku mengaku dendam sejak lama karena meyakini korban adalah orang yang membunuh ayahnya. Namun motif ini masih kami dalami, termasuk memeriksa kembali berkas kasus lama,” ujar pihak kepolisian.
Pihak kepolisian juga menegaskan bahwa meskipun pelaku menyerahkan diri, perbuatannya tetap termasuk tindak pidana berat yang bisa berujung pada hukuman seumur hidup atau bahkan hukuman mati, sesuai dengan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Reaksi Warga: Antara Kaget dan Memahami
Warga desa mengaku kaget namun tidak sepenuhnya heran. “Kami tahu sejak dulu keluarga S tidak pernah benar-benar menerima kenyataan. Apalagi banyak yang berbisik soal keterlibatan R. Tapi kami tidak menyangka S benar-benar akan melakukan ini,” ungkap seorang tokoh masyarakat.
Beberapa warga bahkan menyatakan perasaan campur aduk: antara simpati pada S yang kehilangan ayah tanpa keadilan, dan ngeri karena S memilih jalan kekerasan. “Ini jadi pelajaran besar bahwa dendam tidak akan menyelesaikan masalah,” tambahnya.
Perspektif Hukum dan Psikologis
Ahli hukum pidana menilai bahwa meski pelaku memiliki latar belakang dendam yang bisa dimaklumi secara emosional, hukum tetap harus ditegakkan. “Dalam hukum pidana Indonesia, tidak ada pembenaran untuk aksi balas dendam. Faktor emosi hanya mungkin menjadi pertimbangan meringankan, tapi tetap tidak menghapus pidana,” jelas seorang pengamat hukum dari Universitas Jember.
Sementara itu, psikolog kriminal menyebut bahwa kasus ini menunjukkan betapa trauma mendalam yang tidak ditangani secara tepat dapat berujung pada tindakan ekstrem. “Rasa kehilangan dan ketidakadilan yang dipendam tanpa dukungan psikologis bisa memunculkan keinginan balas dendam. Ini contoh nyata pentingnya pendampingan bagi korban kejahatan,” ujarnya.
Dampak Sosial dan Pelajaran bagi Masyarakat
Tragedi ini meninggalkan luka ganda bagi kedua keluarga. Keluarga R harus menanggung duka kehilangan, sementara keluarga S menghadapi kenyataan baru: anak yang kini berstatus tersangka pembunuhan. Desa yang awalnya tenteram pun kini menjadi pusat perhatian dan perbincangan publik.
Peristiwa di Lumajang ini menjadi pengingat bahwa dendam yang dipelihara hanya akan memunculkan lingkaran kekerasan. Ketika keadilan hukum dianggap tidak berjalan, masyarakat harus tetap mengedepankan jalur legal ketimbang main hakim sendiri. Dukungan dari aparat hukum, pemerintah desa, dan pendampingan psikologis bagi korban kejahatan menjadi faktor penting untuk mencegah tragedi serupa.
Penutup: Nyawa Dibayar Nyawa, Sebuah Lingkar Kekerasan
Kasus “nyawa dibayar nyawa” di Lumajang ini memperlihatkan bagaimana luka lama dan ketidakpuasan terhadap proses hukum dapat berujung pada tragedi baru. Aksi S mungkin dianggap sebagai bentuk keadilan personal, namun pada akhirnya menjerat dirinya sendiri ke dalam jeratan hukum yang berat.
Di balik cerita ini, terselip pesan penting bagi kita semua: keadilan sejati tidak bisa ditegakkan melalui kekerasan. Jika dendam dibiarkan memimpin, yang lahir hanya penderitaan baru dan lingkar kekerasan yang tidak pernah selesai.